Langsung ke konten utama

Cerpen 2

 Berawal Duka Berakhir Suka

 

      Image by Thomas Ulrich from Pixabay 

Hari ini menjadi sebuah hari yang benar- benar melelahkan bagiku. Sepulang beraktivitas langsung kurebahkan badanku di tempat favoritku, kasur. Sembari melepas penat aku mengambil ponselku untuk sekadar mengecek ponsel jikalau ada sesuatu yang penting. Tanpa sengaja aku memencet icon gallery di ponselku. Aku menemukan sebuah foto kenangan 3 tahun yang lalu. Memoriku langsung mengambil alih seluruh pikiranku. Alam bawah sadarku mulai beraksi.

******

Namaku Sintya. Aku berasal dari sebuah wilayah terpencil di Pulau Jawa, bisa dibilang daerah asalku adalah daerah pelosok yang tidak banyak orang tau. Masa kecilku banyak kuhabiskan bersama teman-temanku di desa. Bahkan aku hampir tidak pernah main ke perkotaan. Paling-paling hanya ketika lebaran aku pergi ke rumah nenekku di kota. Itupun tak lama hanya 1 hari.

Tidak aneh rasanya kalau aku begitu menikmati hari-hariku di desa. Sampai akhirnya papaku menyampaikan berita yang kurang aku senangi. Papa menyampaikan jika beliau mendapatkan dipindah tugaskan di kota sehingga kami sekeluarga harus pindah ke kota itu. Terpaksa aku harus ikut pindah bersama kedua orangtuaku, begitu juga dengan sekolahku.  Entah harus bahagia atau sedih aku dilema. Mungkin lebih tepatnya menyenangkan bagi kehidupanku selanjutnya, tetapi menyisakan luka dalam diriku pribadi saat itu sebab aku kehilangan keadaan yang telah membuatku nyaman.  Namun ya sudahlah sudah menjadi resiko bagiku dan ibu yang harus berpindah mengikuti tempat kerja papa.

****

Hari senin akhirnya tiba. Artinya hari pertama aku bersekolah di sekolah baruku sudah dimulai. Aku bangun pagi buta. Kusiapkan seluruh peralatan sekolahku. Setelah itu aku bergegas mandi, berdandan, dan sarapan. Setelah semuanya sudah selesai aku kerjakan, aku bergegas berangkat sekolah karena aku tidak mau terlambat untuk hari perdanaku ini.  

20 menit kemudian aku sudah sampai di gerbang sekolah baruku. Aku turun dari mobil papaku. Kemudian aku masuk ke halaman sekolah untuk menuju ruang kepala sekolah.  

Karena aku belum tahu letak ruangan yang harus aku tuju berada di mana maka aku berinisiatif untuk bertanya.

“ Permisi mau tanya ruang kepala sekolah di sebelah mana ya? “

“ Maaf, buru-buru.” Jawab salah seorang siswa yang langsung pergi sembari asik memainkan ponselnya.

“Hmm nyebelin banget sih ditanya aja gak mau jawab apa susahnya coba. Cuma ngasih tahu beberapa detik saja kok keberatan. Malah lebih mentingin ponselnya daripada aku.” gumamku.

“Eh sudahlah. Jangan marah-marah gitu. Ini kan hari pertama kamu sekolah di sini.” nasihat papaku.

Aku sedikit kesal sejujurnya, tetapi yasudahlah. Setelah berputar-putar akhirnya aku dan Papa berhasil menemukan ruangan yang aku cari.

            Kami masuk ke ruang kepala sekolah. Bapak Yanto menerima kedatangan kami dengan senang hati. Setelah cukup lama berbincang, papa pamit karena harus berangkat bekerja. Sementara itu aku diantar Bapak Kepala Sekolah menuju ruang kelasku.

Hari pertamaku baik-baik saja , semuanya berjalan dengan lancar. Namun tidak untuk hari-hari selanjutnya. Bagiku kondisinya sangat tidak menyenangkan. Semua kondisinya sangat asing dan sangat berbeda dengan kehidupanku di desa, aku merasa kehilangan masa-masa yang aku sukai. Bukan karena teman- teman yang tidak ramah ataupun sekolahnya yang buruk. Akan tetapi lebih kepada gaya hidup teman-temanku yang begitu berbeda dengan keseharianku. Hampir tak ada yang cocok denganku. Hal itulah yang hampir membuatku kehilangan semangat belajarku bahkan rasanya sangat malas untuk berangkat ke sekolah. Padahal aku baru sebulan sekolah di sana.

Ketika makan malam aku menceritakan keluh kesalku pada orangtuaku sayangnya mereka tidak memberi solusi.

“ Pa, Ma aku gak nyaman nih di sekolah itu.” keluhku pada orangtuaku.

“ Lho kok gitu, ada apa? ” tanya papaku.

“ Pokoknya aku gak cocok di sana.” jawabku.

 “ Oh, itu masalah biasa namanya juga kamu berada di lingkungan baru lama kelamaan juga nyaman.” jawab ibuku.

“ Pa kalau aku pindah aja gimana , Pa?” tanyaku spontan.

“Eh jangan nyerah gitu dong. Kamu bisa kok beradaptasi di sana. Cuma butuh waktu aja.” sahut papaku.

“Ya udah deh, Ma, Pa aku bakalan coba bertahan beberapa hari ke depan.”

Setelah makan malam aku masuk ke kamarku. Aku mengambil sesobek kertas untuk aku tuangkan seluruh masalahku. Mungkin tak bisa kupecahkan, tetapi setidaknya aku bisa melepas sedikit bebanku.

            Setiap hari teman- teman satu kelasku selalu memamerkan ponsel mereka.  Seakan ponsel telah menjelma mengisi sebagian hidup mereka. Sebagian waktu mereka habiskan bersama barang kesayangan itu. Bahkan ketika pelajaran berlangsung sekalipun mereka masih tetap memainkan ponsel mereka.  Namun entah mengapa tidak denganku, aku malah merasa risih melihatnya. Entah aku yang kudet atau gimana aku kurang mengerti.

Aku termasuk sosok orang yang anti terhadap hp. Bukan karena tidak mampu beli lho ya, tapi ya entah mengapa aku gak tertarik sama benda yang satu itu. Setiap aku tanya pada teman-teman apa faedahnya main ponsel. Mereka selalu menjawab kalau ponsel itu bisa menyelesaikan segalanya. Dan itu aneh bagiku, aku tidak bisa sepenuhnya percaya dengan pernyataan jika hp bisa menyelesaikan semuanya. Bagiku ponsel tidak bisa menyelesaikan semua masalah yang aku hadapi. Bahkan ponsel hanya akan memperumit masalah menurutku.  Lalu aku harus gimana?

Hari terus berganti. Lama kelamaan guru- guru di sekolahku mulai menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran.  Mulai dari pemberian tugas, catatan hingga ulangan, semuanya dilaksanakan secara modern. Tidak ada lagi guru yang menjelaskan materi pembelajaran di depan kelas. Hanya ada sebagian saja yang menggunakan metode lama dalam hal ulangan.  

Awalnya tidak masalah bagiku. Aku bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.  Walaupun aku gak punya ponsel, tapi aku masih bisa pakai leptop pemberian papa tempo hari. Namun lama-kelamaan aku merasa keberatan juga jika harus membawa leptop setiap hari karena aku masih harus membawa buku pelajaran setumpuk setiap harinya. Aku jadi iri dengan teman-teman. Mereka tidak perlu membawa leptop setiap harinya. Selain itu, aku juga sering ketinggalan pelajaran sebab aku yang tidak punya catatan atau aku yang tidak mengerjakan tugas. Bukan karena malas, tetapi karena aku tidak memiliki WA. Padahal sebagian besar guru mengirimkan tugas di waktu malam hari melalui WA. Jadi ya mau gak mau aku harus punya ponsel.

Aku putuskan. Sepulang sekolah aku langsung bicara dengan Papa. Aku ceritakan semuanya.

“ Pa, beliin hp ya.”

“ Buat apa? Kan masih ada leptop?”

“ Sintya merasa keberatan kalau harus bawa leptop terus. Beliin ya, Pa biar lebih ringan.”

“Tapi leptop kamu gak terlalu berat menurut Papa.”

 “Iya sih, Pa. Tapi akhir- akhir ini aku jadi sering gak ngerjain tugas, Pa.”

“Lho lha mengapa kok kamu bisa sampai gak ngerjain?’’

“Lha habisnya guru-guru mengirimkan tugasnya ketika malam hari lewat WA, Pa. Makanya aku jadi gak ngerjain. Akhir-akhirnya aku jadi buru-buru ngerjain di sekolah kalau sempat.”

 “ Oh, gitu ya. Ya sudah nanti Papa belikan.”

Untungnya Papaku  langsung bisa mengerti dan langsung membelikan hp baru untukku.

Senang sekali rasanya ketika papa bersedia membelikan ponsel untukku.  Pagi harinya aku langsung membawa ponselku ke sekolah.  

“ Wah, ada yang punya  hp baru  nih?,” kata Dinda.

“ Wau, akhirnya mau juga pakai hp. “ saut Guntur.

“ Hehe. Lha mau gimana lagi sebagian besar tugas disebar lewat WA.” jawabku.

“Iya deh percaya.” gurau Nada.

 Selama berhari-hari ponselku jadi barang sewaan yang disewa teman-temanku bergantian. Ada yang sekedar pingin lihat. Ada yang ngebandingin sama punya mereka. Trus ada juga yang iseng-iseng nyoba aplikasinya. Tetapi oke-oke aja bagiku.

         Ya itung-itung sekalian  aku belajar bagaimana cara menggunakan segala aplikasi dan perangkat yang ada di ponselku. Awalnya sih aku gak terlalu fanatik sama ponselku. Namun entah mengapa lama-kelamaan aku malah menjadi terlalu asyik dengan ponsel pintarku itu. Di luar dugaanku aku ikutan ketularan teman-temanku. Hampir setengah waktuku aku habiskan untuk mengotak-atik ponsel pintarku. Entah apa yang membuatnya asyik akupun tak tahu. Awalnya aku berhasil membunuh waktu dengan benda yang satu itu. Ya sayangnya waktu-waktu  yang berharga termasuk waktu belajarku pun ikut aku bunuh.

            Semakin hari gaya hidupku semakin berubah. Aku tidak lagi fokus di kelas. Aku lebih asyik dengan ponselku bahkan ketika pembelajaran berlangsung sekalipun. Aku lebih mementingkan kehidupanku di dunia maya daripada di dunia nyata. Aku tidak lagi memikirkan sekolahku. Segala macam catatan, tugas, dan ulangan tidak lagi aku anggap serius.  Tak hanya itu aku juga menjadi betah berada di sekolah tentunya untuk memainkan ponsel bersama teman-teman. Tidak lagi seperti dulu, di mana aku selalu ingin segera pulang ketika bel pulang sekolah berdering. 

***

             Sore ini sepulang sekolah Dinda, Yani, dan Guntur mengajakku untuk mengerjakan tugas kelompok di sekolah.

“ Sin, ngerjain tugas yuk,” kata Dinda.

“ Oke,”

“ Oke sekarang kita mulai aja dengan pembagian tugas, gimana?” tanya Yani.

“ Ya langsung bagi aja,”

Setelah pembagian tugas selesai semuanya fokus pada tugasnya masing-masing. Namun tidak denganku. Aku bukannya mengerjakan tugas, tapi malah asyik main hp. Aku bilang pada teman-teman kalau cari wifi untuk mengerjakan tugas.  Padahal sebetulnya tidak.

             Pagi harinya Bu Ratri meminta tugas kelompok kami dikumpulkan. Dengan santainya aku mengatakan kalau aku belum ngerjain. Teman satu kelompokku langsung marah-marah sama aku. Mereka langsung mencoret namaku pada lembar kerja kelompok dan melaporkannya pada Bu Ratri.  Bu Ratri menanyakan alasanku. Namun, aku tidak mejawab sepatah katapun.

            Lama kelamaan teman-teman satu kelasku menjauhi aku. Tidak ada lagi yang mau aku ajak bicara di kelas. Setiap aku bicara semuanya langsung meninggalkanku. Walaupun sebenarnya kita semua sejenis. Namun entah mengapa hanya aku yang dimusuhi. Mungkin karena aku anak baru atau apalah yang tidak aku tahu.

                 Beberapa hari ini juga aku sering dipanggil guru karena masalah nilaiku yang anjlok. Dua minggu kemudian guru BK memberikan sebuah surat untukku. Surat itu berisi surat panggilan untuk orangtuaku agar datang ke sekolah. Aku sengaja tidak memberikan surat itu kepada papa karena aku tahu papa akan marah padaku. Namun sayangnya mama menemukan surat itu di meja belajarku ketika aku sedang pergi.  Pagi harinya mama  datang ke sekolahku tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. .

            Sepulang sekolah mama dan papa sudah menungguku di ruang tamu. Mama  langsung marah kepadaku. Begitu juga dengan papa.

“ Sin, gimana bisa prestasimu anjlok ?”

“Apa maksud mama?”

“Mama  tadi ke sekolakmu dan gurumu bilang prestasimu menurun drastis sejak kamu punya ponsel.”

“Bener begitu, Sin?”

Aku diam.

“Kalau gitu mana hp kamu, sini kasih ke papa.”

“ Pa, kembaliin hp aku. Itu milikku.”

“Dengar ya papa membelikan hp untuk mendukung pembelajaran kamu bukan malah sebaliknya.”

“Papa jahat. Sintya main hp gak boleh, tapi giliran papa sama mama main hp aja aku gak pernah marah. Aku kan juga kan meniru mama sama papa. Aku juga butuh hiburan dan perhatian gak cuman belajar setiap hari.”

Aku langsung lari ke kamar dan mengurung diri.

             Mama masuk ke kamarku dan mencoba memberi penjelasan. Aku yang masih marah tak menghiraukannya sama sekali. Aku hanya mendengarkannya tanpa aku jawab sepatah katapun.

             Sampai akhirnya malam harinya aku membaca sebuah cerita di buku elektronik. Aku langsung ingat bagaimana perubahan dalam hidupku. Aku merenungkan semua yang terjadi dalam hidupku. Mulai dari aku dulu di desa, aku yang benci ponsel, sampai aku yang tidak bisa berhenti main ponsel. Aku baru tersadar bahwa aku sudah kehilangan waktu yang berharga karena terbius oleh kecanggihan ponselku. Itu artinya aku kembali merasa kehilangan hal berharga yang aku miliki.

***

             Pagi harinya aku langsung meminta maaf kepada papa dan mama. Begitu juga kepada teman-temanku. Syukurlah mereka semua mau memaafkanku. Malah mereka juga balik meminta maaf kepadaku dan berterimakasih karena telah memberikan pelajaran yang berharga yang berhasil menyadarkan mereka.

            Semenjak hari itu semuanya kembali kepada keadaan seperti semula. Aku kembali ke kehidupanku semula. Kehidupanku menggunakan ponsel secara bijak. Aku juga kembali fokus dalam pembelajaran sekaligus memperbaiki nilai-nilaiku yang sempat anjlok beberapa minggu lalu. Mama dan papaku juga menjadi lebih peduli kepadaku. Mereka juga memberi kebebasan bagiku untuk menggunakan ponselku asalkan aku tetap bisa mengatur waktu dengan baik.

 

-END-

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Sinetron Aku Anak Indonesia

Sumber: pixabay Judul                : Aku Anak Indonesia Pemeran           :   Dinda Hauw, Giorgino Abraham, Dante Valreand, dan masih banyak lagi. Sutradara         : Subakti IS Penulis               : sara Nathaniel Produksi          : SinemaArt Saluran             : RCTI Siaran perdana; 27 April 2015 Aku Anak Indonesia Episode 08 (5 Mei 2015) Sinetron Aku Anak Indonesia adalah sinetron produksi SinemArt yang memotret kehidupan anak SMA. Aku Anak Indonesia tidak melulu berkutat pada kisah cinta atau fantasi, yang belakangan lazim ditemui di sinetron remaja. Kisah persahabatan, saling menghargai dan menerima perbedaan ditampilkan dalam sinetron yang dibintangi Dinda Hauw, Giorgino Abraham, Dante Valreand, dan masih banyak lagi. Pada episode 8 sinetron ini diceritakan kelanjutan kisah episode 7. Arif menuliskan isi hatinya dalam sebuah surat. Surat itu berisi teriakan perubahan yang mengungkapkan keinginan anak muda. Ia tidak tau kemana surat itu harus ditujuka

Detektor Ketinggian Air

Rangkaian Skema Detektor Ketinggian Air   Sirkuit ini tidak hanya menunjukkan jumlah air di dalam tangki overhead, tetapi juga memberikan tanda jika tangki penuh.  Ketika bak mandi sudah terisi penuh maka ujung kedua kawat akan terkena air, dimana air disini sebagai konduktor yang baik untuk menghantarkan arus, sehingga bisa mengaktifkan transistor sebagai saklar otomatis dan transistor mengaktifkan relay yang kemudian buzzer/alarm akan berbunyi untuk memberitahukan kita bahwa bak mandi sudah terisi penuh.