Berawal Duka Berakhir Suka
Hari
ini menjadi sebuah hari yang benar- benar melelahkan bagiku. Sepulang beraktivitas
langsung kurebahkan badanku di tempat favoritku, kasur. Sembari melepas penat
aku mengambil ponselku untuk sekadar mengecek ponsel jikalau ada sesuatu yang
penting. Tanpa sengaja aku memencet icon
gallery di ponselku. Aku menemukan sebuah foto kenangan 3 tahun yang lalu.
Memoriku langsung mengambil alih seluruh pikiranku. Alam bawah sadarku mulai
beraksi.
******
Namaku
Sintya. Aku berasal dari sebuah wilayah terpencil di Pulau Jawa, bisa dibilang
daerah asalku adalah daerah pelosok yang tidak banyak orang tau. Masa kecilku banyak
kuhabiskan bersama teman-temanku di desa. Bahkan aku hampir tidak pernah main
ke perkotaan. Paling-paling hanya ketika lebaran aku pergi ke rumah nenekku di
kota. Itupun tak lama hanya 1 hari.
Tidak
aneh rasanya kalau aku begitu menikmati hari-hariku di desa. Sampai akhirnya papaku
menyampaikan berita yang kurang aku senangi. Papa menyampaikan jika beliau
mendapatkan dipindah tugaskan di kota sehingga kami sekeluarga harus pindah ke
kota itu. Terpaksa aku harus ikut pindah bersama kedua orangtuaku, begitu juga
dengan sekolahku. Entah harus bahagia
atau sedih aku dilema. Mungkin lebih tepatnya menyenangkan bagi kehidupanku
selanjutnya, tetapi menyisakan luka dalam diriku pribadi saat itu sebab aku
kehilangan keadaan yang telah membuatku nyaman. Namun ya sudahlah sudah menjadi resiko bagiku
dan ibu yang harus berpindah mengikuti tempat kerja papa.
****
Hari
senin akhirnya tiba. Artinya hari pertama aku bersekolah di sekolah baruku
sudah dimulai. Aku bangun pagi buta. Kusiapkan seluruh peralatan sekolahku. Setelah
itu aku bergegas mandi, berdandan, dan sarapan. Setelah semuanya sudah selesai aku
kerjakan, aku bergegas berangkat sekolah karena aku tidak mau terlambat untuk
hari perdanaku ini.
20
menit kemudian aku sudah sampai di gerbang sekolah baruku. Aku turun dari mobil
papaku. Kemudian aku masuk ke halaman sekolah untuk menuju ruang kepala
sekolah.
Karena
aku belum tahu letak ruangan yang harus aku tuju berada di mana maka aku
berinisiatif untuk bertanya.
“
Permisi mau tanya ruang kepala sekolah di sebelah mana ya? “
“
Maaf, buru-buru.” Jawab salah seorang siswa yang langsung pergi sembari asik memainkan
ponselnya.
“Hmm nyebelin banget sih ditanya aja gak mau jawab apa
susahnya coba. Cuma ngasih tahu beberapa detik saja kok keberatan. Malah lebih
mentingin ponselnya daripada aku.” gumamku.
“Eh sudahlah. Jangan marah-marah gitu. Ini kan hari
pertama kamu sekolah di sini.” nasihat papaku.
Aku sedikit kesal sejujurnya, tetapi yasudahlah. Setelah berputar-putar akhirnya aku dan Papa berhasil menemukan ruangan yang aku cari.
Kami masuk ke ruang kepala sekolah. Bapak Yanto menerima kedatangan kami dengan senang hati. Setelah cukup lama berbincang, papa pamit karena harus berangkat bekerja. Sementara itu aku diantar Bapak Kepala Sekolah menuju ruang kelasku.
Hari
pertamaku baik-baik saja , semuanya berjalan dengan lancar. Namun tidak untuk
hari-hari selanjutnya. Bagiku kondisinya sangat tidak menyenangkan. Semua
kondisinya sangat asing dan sangat berbeda dengan kehidupanku di desa, aku
merasa kehilangan masa-masa yang aku sukai. Bukan karena teman- teman yang
tidak ramah ataupun sekolahnya yang buruk. Akan tetapi lebih kepada gaya hidup
teman-temanku yang begitu berbeda dengan keseharianku. Hampir tak ada yang
cocok denganku. Hal itulah yang hampir membuatku kehilangan semangat belajarku
bahkan rasanya sangat malas untuk berangkat ke sekolah. Padahal aku baru
sebulan sekolah di sana.
Ketika
makan malam aku menceritakan keluh kesalku pada orangtuaku sayangnya mereka tidak
memberi solusi.
“
Pa, Ma aku gak nyaman nih di sekolah itu.” keluhku pada orangtuaku.
“
Lho kok gitu, ada apa? ” tanya papaku.
“
Pokoknya aku gak cocok di sana.” jawabku.
“ Oh, itu masalah biasa namanya juga kamu
berada di lingkungan baru lama kelamaan juga nyaman.” jawab ibuku.
“ Pa kalau aku pindah aja gimana , Pa?” tanyaku
spontan.
“Eh jangan nyerah gitu dong. Kamu bisa kok beradaptasi di sana. Cuma butuh waktu aja.” sahut papaku.
“Ya udah deh, Ma, Pa aku bakalan coba bertahan beberapa hari ke depan.”
Setelah makan malam aku masuk ke kamarku. Aku mengambil sesobek kertas untuk aku tuangkan seluruh masalahku. Mungkin tak bisa kupecahkan, tetapi setidaknya aku bisa melepas sedikit bebanku.
Setiap hari teman- teman satu kelasku selalu memamerkan ponsel mereka. Seakan ponsel telah menjelma mengisi sebagian hidup mereka. Sebagian waktu mereka habiskan bersama barang kesayangan itu. Bahkan ketika pelajaran berlangsung sekalipun mereka masih tetap memainkan ponsel mereka. Namun entah mengapa tidak denganku, aku malah merasa risih melihatnya. Entah aku yang kudet atau gimana aku kurang mengerti.
Aku termasuk sosok orang yang anti terhadap hp. Bukan
karena tidak mampu beli lho ya, tapi ya entah mengapa aku gak tertarik sama
benda yang satu itu. Setiap aku tanya pada teman-teman apa faedahnya main
ponsel. Mereka selalu menjawab kalau ponsel itu bisa menyelesaikan segalanya. Dan
itu aneh bagiku, aku tidak bisa sepenuhnya percaya dengan pernyataan jika hp
bisa menyelesaikan semuanya. Bagiku ponsel tidak bisa menyelesaikan semua
masalah yang aku hadapi. Bahkan ponsel hanya akan memperumit masalah
menurutku. Lalu aku harus gimana?
Hari terus berganti. Lama kelamaan guru- guru di sekolahku mulai menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran. Mulai dari pemberian tugas, catatan hingga ulangan, semuanya dilaksanakan secara modern. Tidak ada lagi guru yang menjelaskan materi pembelajaran di depan kelas. Hanya ada sebagian saja yang menggunakan metode lama dalam hal ulangan.
Awalnya tidak masalah bagiku. Aku bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Walaupun aku gak punya ponsel, tapi aku masih bisa pakai leptop pemberian papa tempo hari. Namun lama-kelamaan aku merasa keberatan juga jika harus membawa leptop setiap hari karena aku masih harus membawa buku pelajaran setumpuk setiap harinya. Aku jadi iri dengan teman-teman. Mereka tidak perlu membawa leptop setiap harinya. Selain itu, aku juga sering ketinggalan pelajaran sebab aku yang tidak punya catatan atau aku yang tidak mengerjakan tugas. Bukan karena malas, tetapi karena aku tidak memiliki WA. Padahal sebagian besar guru mengirimkan tugas di waktu malam hari melalui WA. Jadi ya mau gak mau aku harus punya ponsel.
Aku
putuskan. Sepulang sekolah aku langsung bicara dengan Papa. Aku ceritakan
semuanya.
“ Pa, beliin hp
ya.”
“ Buat apa? Kan
masih ada leptop?”
“ Sintya merasa
keberatan kalau harus bawa leptop terus. Beliin ya, Pa biar lebih ringan.”
“Tapi leptop kamu gak terlalu berat menurut Papa.”
“Lho lha mengapa kok kamu bisa sampai gak ngerjain?’’
“Lha habisnya guru-guru mengirimkan tugasnya ketika
malam hari lewat WA, Pa. Makanya aku jadi gak ngerjain. Akhir-akhirnya aku jadi
buru-buru ngerjain di sekolah kalau sempat.”
Untungnya Papaku langsung bisa mengerti dan langsung membelikan
hp baru untukku.
Senang sekali rasanya ketika
papa bersedia membelikan ponsel untukku.
Pagi harinya aku langsung membawa ponselku ke sekolah.
“ Wah, ada yang
punya hp baru nih?,” kata Dinda.
“ Wau, akhirnya
mau juga pakai hp. “ saut Guntur.
“ Hehe. Lha mau
gimana lagi sebagian besar tugas disebar lewat WA.” jawabku.
“Iya deh percaya.” gurau Nada.
Semakin hari gaya hidupku semakin
berubah. Aku tidak lagi fokus di kelas. Aku lebih asyik dengan ponselku bahkan
ketika pembelajaran berlangsung sekalipun. Aku lebih mementingkan kehidupanku
di dunia maya daripada di dunia nyata. Aku tidak lagi memikirkan sekolahku.
Segala macam catatan, tugas, dan ulangan tidak lagi aku anggap serius. Tak hanya itu aku juga menjadi betah berada di
sekolah tentunya untuk memainkan ponsel bersama teman-teman. Tidak lagi seperti
dulu, di mana aku selalu ingin segera pulang ketika bel pulang sekolah
berdering.
***
“
Sin, ngerjain tugas yuk,” kata Dinda.
“
Oke,”
“
Oke sekarang kita mulai aja dengan pembagian tugas, gimana?” tanya Yani.
“
Ya langsung bagi aja,”
Setelah
pembagian tugas selesai semuanya fokus pada tugasnya masing-masing. Namun tidak
denganku. Aku bukannya mengerjakan tugas, tapi malah asyik main hp. Aku bilang
pada teman-teman kalau cari wifi untuk mengerjakan tugas. Padahal sebetulnya tidak.
Lama kelamaan teman-teman satu kelasku menjauhi aku. Tidak ada lagi yang mau aku ajak bicara di kelas. Setiap aku bicara semuanya langsung meninggalkanku. Walaupun sebenarnya kita semua sejenis. Namun entah mengapa hanya aku yang dimusuhi. Mungkin karena aku anak baru atau apalah yang tidak aku tahu.
Beberapa hari ini juga aku sering dipanggil guru karena masalah nilaiku yang anjlok. Dua minggu kemudian guru BK memberikan sebuah surat untukku. Surat itu berisi surat panggilan untuk orangtuaku agar datang ke sekolah. Aku sengaja tidak memberikan surat itu kepada papa karena aku tahu papa akan marah padaku. Namun sayangnya mama menemukan surat itu di meja belajarku ketika aku sedang pergi. Pagi harinya mama datang ke sekolahku tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. .
Sepulang sekolah mama dan papa sudah menungguku di ruang tamu. Mama langsung marah kepadaku. Begitu juga dengan papa.
“ Sin, gimana bisa prestasimu anjlok ?”
“Apa maksud mama?”
“Mama tadi ke
sekolakmu dan gurumu bilang prestasimu menurun drastis sejak kamu punya
ponsel.”
“Bener begitu, Sin?”
Aku diam.
“Kalau gitu mana hp kamu, sini kasih ke papa.”
“
Pa, kembaliin hp aku. Itu milikku.”
“Dengar
ya papa membelikan hp untuk mendukung pembelajaran kamu bukan malah
sebaliknya.”
“Papa jahat. Sintya main hp gak boleh, tapi giliran papa
sama mama main hp aja aku gak pernah marah. Aku kan juga kan meniru mama sama
papa. Aku juga butuh hiburan dan perhatian gak cuman belajar setiap hari.”
Aku
langsung lari ke kamar dan mengurung diri.
***
Semenjak hari itu semuanya kembali kepada keadaan seperti semula. Aku kembali ke kehidupanku semula. Kehidupanku menggunakan ponsel secara bijak. Aku juga kembali fokus dalam pembelajaran sekaligus memperbaiki nilai-nilaiku yang sempat anjlok beberapa minggu lalu. Mama dan papaku juga menjadi lebih peduli kepadaku. Mereka juga memberi kebebasan bagiku untuk menggunakan ponselku asalkan aku tetap bisa mengatur waktu dengan baik.
-END-
sip
BalasHapus